Minggu, 09 November 2008

Penentuan Awal Ramadhan


Bulan ramadhan kembali menyapa dan perbedaan atas penentuan awal ramadhan selalu menjadi titik perbedaan yang pada beberapa golongan masyarakat menjadi hal yang bisa saja menimbulkan masalah. Di Indonesia sendiri jarang sekali terdapat kata sepakat untuk penentuan awal waktu puasa. Namun, tidak begitu dengan tahun 2008 ini yang ternyata penentuan awal ramadhan bisa mencapai kesepakatan. Bagaimana sebenarnya cara menentukan awal ramadhan? Mengapa bisa terjadi perbedaan penentuan awal ramadhan?

Perbedaan para ulama Islam dalam menentukan awal bulan ramadhan bersumber dari perbedaan mereka dalam melihat hilal atau bulan sabit. Hal ini terjadi karena perbedaan posisi seseorang dalam melihat hilal. Di negara Arab dan Timur Tengah yang lain, perbedaan ini biasa terjadi antarnegara, tidak dalam satu negara seperti yang terjadi di Indonesia. Hilal bisa dilihat oleh mata telanjang atau dengan menggunakan alat teropong pada posisi tertentu jika seseorang tidak bisa melihat hilal karena tertutup awan atau jarak pandang yang jauh.

Islam memiliki dua sistem untuk menentukan awal bulan yang keduanya memiliki dalil yang kuat berdasarkan Alquran dan hadist Rasul. Yang pertama adalah ru’yah hilal yang merupakan system yang menjadi kesepakatan para ulama Islam. Sistem ini menggunakan penglihatan hilal dengan mata telanjang atau teropong. Sedangkan sistem yang kedua adalah hisab (menggunakan hitungan). Sistem kedua ini dipilih jika hilal tidak kelihatan pada sampai hari ke 30 di bulan Sya’ban yang merupakan toleransi kemunculan hilal bulan ramadhan. Sistem hisab tidak menjadi pilihan utama untuk menentukan hilal karena tersapat kelemahan yang bisa menyebabkan kemoloran dalam penentuan hilal yang bisa mencapai dua hari kemoloran.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar: “Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah, jika kalian melihat hilal (syawal) maka berbuka puasalah (akhiri bulan puasa). Dan jika tidak kelihatan hilan maka perkirakan 30 hari.” (Hadist Bukhari Muslim, An Nasa’I, dan Ibnu Majah). Para ulama juga sepakat bahwa jika hilal tidak terlihat di suatu negeri, maka tidak wajib bagi negeri yang letaknya berjauhan untuk berpuasa.

Ini berdasarkan pada hadist riwayat Muslim dari Kuraib bahwasanya Ummu Al Fadhl binti Haritsah pernah mengutus Kuraib ke Muawiyah yang waktu itu menjadi gubernur Syam. Kuraib bercerita: saya berangkati ke Syam dan menunaikan keinginan Ummul Fadhl, lalu tiba bulan ramadhan, saya melihat hilal pada hari jum'at dan besoknya berpuasa. Kemudian saya kembali ke Madinah pada akhir bulan ramadhan. Ketika Kuraib sampai di Madinah, Abdullah bin Abbas bertanya: kapan engkau melihat hilal? aku menjawab:hari jum'at. lalu bertanya lagi: engkau sendiri yang melihatnya? aku menjawab: yang lain juga dan mereka semua berpuasa pada pagi harinya termasuk Muawiyah. Ibnu Abbas berkata: kita di Madinah melihat hilal pada hari sabtu, kita masih berpuasa sampai menyempurnakan 30 hari. Kuraib berkata: saya bertanya: tidakkah cukup kita mengikuti Muawiyah? Ibnu Abbas menjawab: tidak, seperti itu kita diperintah oleh Rasulullah SAW. (ditakhrij muslim, Abu Dawud, At Turmuzi, An Nasa'i dan Ahmad Bin Hanbal). Ibnu Rusyd dalam kitabnya bidayatul mujtahid mengomentari hadits bahwa hadist ini menuntut setiap negara memiliki legalitas hukum tersendiri dalam melakukan ru'yah, tanpa berketergantungan dengan negara lain.

Seharusnya, perbedaan waktu penentuan awal ramadhan tidak menjadi titik yang bisa menyebabkan perpecahan dan masalah dalam golongan masyarakat kita. Kebingungan yang hadir ketika terjadi perbedaan penentuan awal ramadhan bisa saja dihindarkan dengan kebijaksanaan para organisasi massa Islam, seperti NU dan Muhammadiyah untuk terlebih dahulu menyamakan persepsi mereka tentang cara perhitungan awal ramadhan. Hal yang demikian tentu akan lebih baik karena bisa mengurangi bibit-bibit perpecahan dalam tubuh umat Islam.

Tidak ada komentar: