Minggu, 09 November 2008

IHWAL KATA-KATA FATIS

Hampir semua ahli bahasa belum pernah memperhatikan realitas pemakaian kata-kata kek, deh, dong, toh, sih, nah, ding, dan lho yang berkembang dalam bahasa keseharian. Buktinya, kata-kata itu belum pernah dimasukkan dalam kategori kata. Bisakah kata-kata tersebut digolongkan ke dalam kategori kata tertentu? Kalau bisa, apakah dapat dijelaskan makna dan fungsi dari kata-kata di atas? Apakah dalam naskah terjemahan, kata-kata tersebut dapat dituliskan?

Pertama, perlu dijelaskan dahulu bahwa dalam sejarahnya, kategorisasi atau pengelompokan kata selalu menghasilkan kelas kata yang berbeda-beda. Boleh dikatakan ahli bahasa yang satu mengelompokkan kata secara berbeda dengan ahli bahasa yang lainnya. Dalam linguistik tercatat tidak kurang dari dua puluh ahli bahasa telah berusaha membuat pengelompokkan kata. Namun, hasil pengelompokan ahli yang satu selalu berbeda dengan ahli lainnya. Pengelompokan yang dilakukan pada masa tertentu juga berbeda dengan masa lainnya. Kenyataan ini menegaskan bahwa pada hakikatnya bahasa berubah dan berkembang dinamis sesuai masa dan tahap perkembangannya. Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa para ahli bahasa belum pernah memperhatikan pemakaian kata-kata tertentu. Perkembangan pemakaian kata senantiasa diperhatikan, dicermati, dan diteliti dari masa ke masa. Mungkin sekali kata-kata seperti kek, deh, dong, toh, sih, nah, ding, dan lho belum dicermati atau diteliti pada masa perkembangan tata bahasa pedagogis, tata bahasa Melayu, bahkan pada masa tata bahasa standar Indonesia-Malaysia sekalipun. Ketika itu, para ahli bahasa cenderung masih mempelajari dan meneliti bahasa secara tradisional. Dasar rancangan penelitian mereka pun masih tradisional. Sementara kata-kata di atas cenderung muncul dalam konteks pragmatis yang baru mencuat belakangan ini. kata-kata tersebut dapat dikelompokkan dalam kategori fatis. Konsep fatis itu sendiri sebenarnya juga masih relatif baru karena baru muncul pada tahun 1920-an, yakni setelah Malinowski menyampaikan konsep phatic communion.

Kata-kata fatis lazimnya digunakan dalam ragam bahasa lisan yang berciri nonstandar. Tuturan nonstandard kebanyakan terdapat dalam tuturan kedaerahan yang muncul dalam dialek-dialek regional. Oleh karenanya, kata fatis banyak ditemukan di dalam dialek regional dan tuturan kedaerahan. Adapun fungsi utama kata-kata fatis adalah untuk memulai, mengukuhkan, dan memperlancar interaksi. Oleh karena itu, kata-kata fatis itu dianggap komunikatif.

Kata fatis kek berfungsi sebagai pemerinci informasi dan penegas perintah dalam komunikasi, seperti pada kalimat “Yang pergi gue kek, apa elu kek, tidak ada bedanya” dan “Cepetan kek teleponnya, ngomongi apa aja sih!”

Kata fatis deh berfungsi sebagai pemberi tanda persetujuan dan penanda bujukan, seperti pada tuturan “Oke deh kalau kamu memang mau ikut ke Jakarta besok pagi! “ dan “Minum deh obatnya biar lekas sembuh”.

Kata dong berfungsi sebagai penegas maksud tuturan dan penghalus perintah, contohnya pada tuturan “Jelas sekali dong kalau memang begitu!” dan “Bagi-bagi dong duitnya!”

Kata fatis toh berfungsi sebagai penguat maksud tuturan, seperti pada “Saya toh tidak terlibat dalam korupsi uang proyek itu”. Kadangkala kata fatis toh bisa disamakan dengan tetapi atau namun, seperti pada kalimat “Biarpun berkali-kali terjatuh toh petinju itu bangkit dan menrjang lagi”.

Kata fatis sih dapat menegaskan maksud tuturan, seperti pada kalimat “Siapa sih nama cewek yang ketawa-ketawa terus di halaman itu?” Kadangkala, kata fatis sih juga bisa menggantikan kata memang, misalnya pada kalimat “Cantik sih cantik, tetapi angkuhnya itu lho yang tidak ketulungan “.

Kata fatis nah dapat berfungsi sebagai pengalih fokus pembicaraan dalam komunikasi, misalnya “Nah, sekarang kita lihat dulu gambar yang kedua ini!”

Kata fatis ding bisa berfungsi sebagai tanda penyangkalan maksud tuturan, contohnya pada kalimat “Tidak ding, semua itu dilakukan atas perintah penjahat itu”. Kata fatis ding kadangkala digunakan untuk mengoreksi tuturan sebelumnya, misalnya “Tidak ding, yang mengambil uang itu bukan adik tetapi saya”.

Kata fatis lho bisa berfungsi sebagai penanda kekaguman misalnya “Lho, kamu kok sudah gedhe amat!”

Ungkapan fatis sebenarnya banyak ditemukan dalam bahasa keseharian. Dan dalam surat menyurat, kita sering menemukan ungkapan dengan hormat, salam takzim, hormat kami, wassalam, dan lain-lain. Untuk mengakhiri percakapan kita sering menggunakan ungkapan selamat jalan, sampai jumpa, selamat malam, selamat tidur, dan lain-lain. Untuk mengawali percakapan, kita sering mengguanakan ungkapan selamat pagi, selamat siang, selamat jumpa, hallo, apa kabar, dan lain-lain. Semua ungkapan yang berciri fatis itu lazim muncul dalam konteks interaksi atau komunikasi. Kadangkala, ungkapan fatis maknanya tidak cukup jelas, namun fungsinya amat jelas. Ungkapan fatis berciri komunikatif bukan berciri emotif. Cirri komunikatif itulah yang menjadi pembeda ungkapan fatis dengan ungkapan interjektif yang lazimnya berciri emotif.

Selanjutnya, dalam divisi subtitling pada media elektronik, apakah kata-kata fatis seperti sih dan kok pantas dicantumkan dalam terjemahan teks bawah (subtitle)? Dalam penerjemahan ada prinsip yang harus dipenuhi yakni kedekatan hasil terjemahan dengan maksud asli teksnya. Berkaitan dengan hal itu, tentu menjadi tidak benar apabila bentuk aslinya sebuah percakapan, lalu bentuk terjemahannya bukan lagi percakapan. Jika hal itu terjadi, berarti telah terjadi pengingkaran terhadap prinsip penerjenmahan tersebut.

Oleh karena itu, kata-kata dalam kategori fatis yaitu sih, kok, toh, lho, dan lain-lain, harus tetap dituliskan dalam terjemahan teks bawah. Kata fatis semacam itu justru bermanfaat untuk mengawali, memelihara, dan melancarkan komunikasi. Jadi, kata-kata fatis semacam itu tidak boleh diabaikan begitu saja dalam penerjemahan.

Tidak ada komentar: